Jimadie masih bingit dengan sumpahan berat "sial" berkenaan pengharaman buku "islam dan pluralism" tulisan al-Mustaqeem. Sampai waktu ini, saya masih teraba2, soal kebebasan bersuarakah isunya ataukah pernyataan rasa dukacita akan jumudnya masyarakat malaysia menilai sesuatu paradigma.
Setuju benar dengan kata2 seorang blogger "Kita perlu berani untuk tahu-ahain, t'as l'corage a savoir!". Tapi lagi2 saya bingung, rakyatku yang citarasanya di novel2 ringan yang neither alQuran nor hadith itu, sudah sampai masanya kah mereka di sugu dengan bahan2 ini? Soal akidah bukan mcm bulu tangkis, boleh di 'smesh' sesuka hati. Lalu mengembaralah fikiranku ke zaman Umar, bila mana pernah sekali hukuman hudud mansuh sekejap, sebab Negara tengah miskin, jadi kalau ada yang mencuri, kurang wajar dipotong tangan. Jadi fikirku..iyaaa..untuk tahu itu adalah satu keberanian, tapi berani saja tidak cukup tuan, harus berani dan bijaksana. Lirik juga konteks dan konsep aplikasi 'berani' itu. Jadi tidak macam lembu2 jantan di Mexico yang rabun warna itu, menyondol kain merah, lalu jadi bahan lelucon.
Hati2, kita hidup ini bukan sendiri. Ada syaitan2 yang sedang cari kawan mandi manda di neraka. Yang kutahu syaitan paling pakar membolak balik hati. Kita sampai boleh terangguk2 dengan perkara yang jelas salah, dan yakin pula!. Tuan tidak percaya? al-Mustaqeem yang ikut2 marah dengan MUI itu, sebenarnya membela golongan liberal yang berkata begini " Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi islam bukan yang paling benar". Itu kata tokoh JIL, Ulil Absar yang menurut Evy Rozana- tin kosong yang sengaja berdenting nyaring, minta perhatian.

Saya cuma risau, Malaysia nanti dipenuhi dengan wajah2 cerah, janggut sejemput tapi berotak Attarturk!