Fraktur Hidup

Friday, February 13, 2009
Bibirnya terherot-herot dan dengan susah payah salam kami dia jawab. Maxilla dan mandibula nya membengkak, matanya terperosok dalam. Tisu yang sudah lencun itu di sapu lagi dekat bibir, menampung air liur yang terus menerus mengalir turun tak mau henti.

Mereka baru saja terselamat dari satu kemalangan ngeri. Dilanggar kancil milik seorang remaja cina. Si suami, Iskandar yang tabah; rahangnya lari beberapa centi, jari manisnya putus urat, dan giginya bahagian atas seperempat terbang di radak muncung kancil. Suminah sendiri luka-luka di tangan dan kaki.


Sesungguhnya mereka adalah orang-orang sederhana dengan semangat hidup yang luar biasa.


Suami isteri itu datang dari negara seberang, ditinggalnya kampung halaman yang ramah tamah, cuba-cuba menyerah nasib kepada Sang Penentu nasib di bumi Malaysia ini.

Saban hari Iskandar menyambung hidup dengan menjaja ikan, di tumpuknya ke dalam tong lalu disendeng di atas pelana motosikal tua di kiri dan kanan. Dengan hanya mengenang lelah isteri dan mata jernih anak yang harus disekolahkan, semangatnya bangun, berkeliling pekan, tembus ke kampung-kampung menjaja ikan sambil dipayung terik mentari. Malamnya beliau isi dengan berkhidmat ke masyarakat, mengajar mengaji di kampung-kampung yang pernah ia singgahi meraih rezeki. Ayah mengenalnya atas usaha-usaha mulia ini.

Setelah musibah ini datang, harus bagaimana Suminah menopang semua urusan dunia ini? untuk pulang dan menjungkir kembali takdir-takdir lama adalah hal yang tak mungkin.(Atau barangkali seperti kata Ebiet G.Ade, kenangan merah jingga memaksa mereka bertahan di sini)

Kulihat Suminah memandang keluar. Dalam dan kosong.

Sesungguhnya hati saya ngilu. Suminah di sisi Iskandar yang sudah lumpuh bicara itu masih sedaya upaya berwajah manis. Mengeraskan hatinya sendiri. Matanya bersinar sambil menyangga semangat untuk sang suami yang mulai hilang daya hidup.Inilah tuan, manusia ini punya cinta yang sederhana tapi seusai tersimpul menjadi begitu agung.

Ketika kami beransur pulang, Suminah genggam tangan ibu. Sekilas itu saya tahu rasa terima kasihnya yang terurung di dalam hati. “Harus tabah. Ujian datang dengan hikmah. Kuatlah mbak!” Dia angguk-angguk.

Suminah pandang keluar lagi. Barangkali menunggu pagi datang. Menunggu kehidupan.

Read On 4 comments